Pengamatan pada Panjang Gelombang Radio

Teleskop-teleskop radio yang tergabung dalam Very Large Array project di New Mexico. Credit: NRAO.

Sampai pada tahun 1930-an, para ilmuwan masih mengamati bintang dengan menggunakan teleskop pada panjang gelombang optik. Padahal bintang memancarkan gelombang elektromagnetik pada semua panjang gelombang, dari panjang gelombang sinar gamma hingga panjang gelombang radio.

Hal ini dikarenakan hanya dua panjang gelombang saja yang dapat menembus atmosfer Bumi, yaitu pada panjang gelombang radio (jendela radio) dan pada panjang gelombang optik (jendela optik). Sebagian pancaran gelombang elektromagnetik diserap oleh molekul - molekul di atmosfer Bumi, yaitu uap air, karbondioksida, dan metana.

Untuk melakukan pengamatan pada panjang gelombang di luar panjang gelombang optik, para ilmuwan harus membawa teleskop ke luar angkasa dengan menggunakan roket, balon, dan juga satelit. Pengamatan di luar panjang gelombang optik dimulai dari pengamatan pada panjang gelombang radio.

Pada tahun 1930-an, dimulai pengamatan pada panjang gelombang radio yang pertama kali dilakukan oleh seorang insinyur dari Bell Telephone Laboratories bernama Karl G. Jansky. Ia membuat sebuah antena yang bekerja pada panjang gelombang 14,6 m untuk mengamati adanya gangguan pada pancaran gelombang radio gelombang pendek.

Ketika melakukan kerjanya, antena tersebut menemukan adanya gangguan yang sudah biasa dikenal, seperti dari badai. Selain itu, antena tersebut juga menemukan adanya pancaran gelombang radio yang tidak diketahui sumbernya. Kemudian, Jansky melakukan pengamatan terhadap pancaran tersebut selama dua hari berturut - turut. Pada hari kedua, terlihat bahwa puncak pancaran gelombang radio tersebut akan muncul lebih cepat 4 menit setiap harinya, yang artinya pancaran tersebut memiliki periode siklus harian 23 jam 56 menit. Kemudian Jansky menyimpulkan bahwa pancaran gelombang radio tersebut bersumber pada objek di luar Bumi, dan penelitian lebih lanjut menyatakan bahwa pancaran tersebut bersumber pada daerah pusat galaksi kita.

Pada awalnya, penemuan dari Kal G. Jansky ini tidak banyak mendapatkan perhatian dalam dunia astronomi. Kemudian pada tahun 1936, seorang astronom amatir bernama Grote Reber membuat sebuah teleskop radio yang khusus digunakan untuk menerima pancaran gelombang radio dari luar angkasa.

Pada tahun 1940, Grote Reber membenarkan pernyataan Karl G. Jansky bahwa pancaran gelombang radio yang diterimanya dulu berasal dari daerah pusat galaksi kita. Reber juga menemukan sumber pancaran gelombang radio lainnya, yaitu dari rasi Cygnus, Cassiopeia, dan juga Matahari kita. Semenjak hal itulah, para ilmuwan banyak menggunakan teleskop radio untuk melakukan pengamatan bintang.

Peristiwa fisis yang menyebabkan terjadinya pancaran gelombang radio adalah sebuah peristiwa yang disebut radiasi sinkrotron, yaitu adanya partikel - partikel bermuatan seperti elektron dan proton yang bergerak di dalam medan magnet dengan lintasan spiral. Jika medan magnetnya semakin kuat, maka kecepatan pergerakan partikel - partikel tersebut akan semakin tinggi, hingga suatu saat mendekati kecepatan cahaya. Partikel - partikel yang bergerak dalam lintasan spiral tersebut kemudian akan memancarkan radiasi dalam panjang gelombang radio.
Untuk membedakan radiasi sinkrotron dengan radiasi yang disebabkan oleh proses - proses termal pada benda yang memiliki temperatur tinggi, maka radiasi sinkrotron disebut juga dengan radiasi non-termal.

Penemuan radiasi non-termal ini telah mengungkap suatu komponen utama alam semesta ini, yaitu plasma relativistik (aliran partikel bermuatan di dalam medan magnet yang bergerak mendekati kecepatan cahaya) yang terdapat di dalam galaksi dan ruang antargalaksi.
Teleskop radio yang digunakan untuk pengamatan pada panjang gelombang radio adalah teleskop pantul, dimana cermin utamanya dibuat berbentuk parabola. Cahaya yang datang ke teleskop akan dipantulkan ke sebuah titik fokus. Di titik fokus tersebut terdapat sebuah antena yang berfungsi untuk mengubah gelombang radio menjadi arus listrik yang kemudian diperkuat dan dikirim ke pemroses data untuk dianalisis.

Kelebihan dari teleskop radio adalah tidak terpengaruh oleh turbulensi atmosfer, dapat digunakan pada saat siang hari dan langit mendung. Hal ini dikarenakan gelombang radio dapat menembus awan. Namun kelemahan dari teleskop ini adalah adanya gangguan dari stasiun - stasiun pemancar gelombang radio komersial atau amatir.

Teleskop radio bekerja dalam gelombang yang lebih panjang daripada gelombang optik. Hal ini menyebabkan daya pisah yang dimiliki teleskop radio sangat rendah. Jika dengan menggunakan teleskop optik kita dapat menentukan sumber pancaran di langit dengan cukup akurat, teleskop radio hanya dapat menentukan daerah tempat sumber pancaran tersebut berada.

Gelombang radio yang memiliki panjang gelombang 20 cm, memiliki panjang gelombang 400.000 kali lebih panjang dibandingkan panjang gelombang optik. Oleh karena itu, untuk mendapatkan daya pisah yang setara dengan teleskop optik, teleskop radio harus memiliki diameter 400.000 kali lebih besar. Untuk memisahkan jarak di langit sebesar 1 detik busur dalam panjang gelombang radio 20 cm, maka harus digunakan teleskop radio yang berdiameter 40 km.

Masalah daya pisah ini kemudian dipecahkan dengan suatu teknik yang dikenal dengan teknik interferometri. Teknik interferometri berusaha menggunakan beberapa teleskop radio untuk mengamati satu objek yang sama di langit. Daya pisah yang diperoleh dari teknik interferometri ini sebanding dengan 1 per jarak terjauh dua teleskop radio yang digunakan. Artinya, semakin jauh jarak dua teleskop radio yang digunakan untuk mengamati satu objek yang sama, maka akan semakin baik daya pisah yang kita peroleh. Dengan demikian, citra objek langit yang didapatkan dengan teknik ini akan memiliki resolusi yang baik. Teknik ini terus dikembangkan oleh ilmuwan untuk dapat digunakan dalam mempelajari objek-objek langit yang jauh dan tidak dapat diamati dengan panjang gelombang optik, seperti daerah pusat galaksi, galaksi-galaksi jauh, gugus galaksi, dan sebagainya.

Salah satu konfigurasi teleskop radio di dunia yang menggunakan teknik interferometri adalah Very Large Array (VLA) yang terletak di New Mexico. Teleskop-teleskop radio ditempatkan dalam konfigurasi berbentuk Y, dengan jarak terjauh antara dua teleskop dalam konfigurasi tersebut mencapai 36 km. Tiap teleskop radio ini memiliki diameter mencapai 25 meter. Resolusi citra yang dihasilkan oleh Very Large Array ini setara dengan resolusi citra objek langit yang ditangkap oleh sebuah teleskop radio dengan diameter sekitar 130 meter.

Konfigurasi Very Large Array (VLA) yang terletak di New Mexico.
Credit: NRAO, NSF


Komentar