Terang dan Magnitudo Bintang

Pemandangan langit di Pulau Vancouver (Kanada) di bagian utara Samudra Pasifik. Credit: Vancouver Island.

 

Bila kita melihat ke langit yang cerah tanpa cahaya Bulan, kita akan dapat melihat berbagai macam bintang dengan berbagai macam kecerlangannya. Sejak dulu, manusia telah menyadari tentang perbedaan kecerlangan bintang.

Ribuan tahun lalu, seorang astronom bernama Hipparchos membuat skala kecerlangan bintang atau magnitudo bintang. Skala ini dibagi menjadi 6, dengan bintang yang paling terang memiliki magnitudo 1 dan bintang yang redup hampir tidak terlihat oleh mata memiliki magnitudo 6. Namun hal ini masih terlalu kualitatif.

Kemudian pada tahun 1856, seorang astronom bernama William Herschel menemukan bahwa bintang bermagnitudo 1 seratus kali lebih terang daripada bintang bermagnitudo 6. Dengan penemuan tersebut, kemudian N.R. Pogson membuat skala kecerlangan bintang tersebut menjadi kuantitatif, yaitu dengan merumuskan perbedaan magnitudo dua bintang secara logaritmis:
mA - mB = -2,5 log Ea/Eb  atau mA - mB = -2,5 log Fa/Fb

Selisih 5 magnitudo bersesuaian dengan seratus kali lebih terang atau lebih redup bintang tersebut. Sedangkan selisih 1 magnitudo bersesuaian dengan 2,512 kali lebih terang atau lebih redup.

Dari persamaan tersebut, terlihat bahwa magnitudo bintang berbanding terbalik dengan terang bintang. Dengan demikian, semakin besar terang bintang, maka akan semakin kecil magnitudo bintang tersebut. Sedangkan jika semakin kecil terang bintang, maka akan semakin besar magnitudo bintang tersebut. Magnitudo dalam persamaan tersebut kita sebut dengan magnitudo semu.

Magnitudo semu tidak terlalu cocok untuk menyatakan terang bintang sebenarnya, hal ini dikarenakan magnitudo semu suatu bintang bergantung dengan jarak bintang tersebut dengan Bumi, sedangkan bintang memiliki jarak yang berbeda - beda terhadap Bumi. Jadi, bintang yang letaknya jauh belum tentu lebih redup daripada bintang yang letaknya dekat dengan Bumi. Karena mungkin saja bintang yang letaknya dekat dengan Bumi itu lebih terang disebabkan oleh jaraknya yang lebih dekat namun kecerlangannya rendah, dan mungkin saja bintang yang letaknya jauh itu lebih redup disebabkan oleh letaknya yang jauh, namun kecerlangannya tinggi.
 
Oleh karena itu, para ilmuwan membuat suatu besaran baru untuk menentukan kecerlangan bintang sebenarnya. Besaran tersebut dinamakan magnitudo mutlak, yaitu magnitudo semu suatu bintang jika bintang tersebut dipindahkan pada jarak 10 pc dari Bumi. Hubungan antara magnitudo semu bintang dengan magnitudo mutlak bintang dirumuskan dalam persamaan yang disebut dengan modulus jarak:
m - M = -5 + 5 log d  atau  m - M = -5 - 5 log p

Pada tahun 1960-an, teknologi fotometer fotoelektrik mengalami perkembangan. Banyak filter yang digunakan untuk mengukur terang bintang dalam berbagai panjang gelombang. Sistem fotometer fotoelektrik yang sering digunakan adalah UBV. Untuk menentukan magnitudo ungu dan biru, dapat dilakukan dengan mengukur jumlah fluks cahaya yang diterima oleh filter ungu dan biru. Sedangkan untuk menentukan magnitudo visual, dapat dilakukan dengan cara mengukur jumlah fluks cahaya bintang yang diterima oleh filter yang dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai tanggapan mata manusia.

Penggunaan dua filter atau lebih untuk menentukan magnitudo sebuah bintang, akan menghasilkan indeks warna. Dalam sistem UBV, terdapat dua indeks warna. Yaitu U - B dan B - V. Indeks warna dapat menentukan temperatur sebuah bintang, yang berarti juga dapat menentukan warna bintang tersebut.


Komentar