Peralatan Pengamatan Bintang

1. Alat Pengumpul Cahaya
Alat pengumpul cahaya dalam astronomi adalah teleskop. Kita semua pasti sudah kenal dengan yang namanya teleskop. Namun, hanya sebagian orang saja yang dapat menggunakannya, terutama di Indonesia.

Secara umum, teleskop memiliki dua komponen utama, yaitu objektif dan okuler. Objektif berfungsi untuk memfokuskan cahaya yang datang ke satu titik fokus. Sedangkan okuler berfungsi meneruskan cahaya yang terfokuskan tadi ke detektor. Secara umum, teleskop berfungsi untuk mengumpulkan cahaya, memperbesar bayangan, memperbesar daya pisah.

Berdasarkan objektifnya, teleskop dibedakan menjadi teleskop refraktor (bias) dan teleskop reflektor (pantul).
 
a. Teleskop Refraktor (Bias)
Teleskop refraktor pertama kali ditemukan oleh para pembuat kacamata dari Belanda pada abad ke 16. Namun baru digunakan untuk mengamati bintang oleh astronom Italia bernama Galileo Galilei. Proses pembiasan pada refraktor adalah sebagai berikut :
Cahaya yang diterima oleh lensa objektif kemudian akan difokuskan ke satu titik fokus, selanjutnya cahaya tersebut akan ditangkap oleh lensa okulernya untuk kemudian diteruskan ke detektor.

Teleskop refraktor menggunakan lensa untuk objektif dan okulernya. Teleskop ini baik untuk digunakan pada saat mengamati cahaya bintang yang redup dari Bumi. Namun teleskop ini memiliki beberapa kelemahan antara lain :
  1. Terjadinya abrasi kromatis pada lensa objektifnya, yaitu komponen cahaya bintang memiliki panjang fokus yang berbeda - beda. Cahaya merah memiliki panjang fokus yang lebih panjang dibandingkan cahaya biru. Hal ini mengakibatkan cahaya bintang menjadi agak kabur. Namun kelemahan ini dapat diminimalisir dengan menggunakan dua lensa (cekung dan cembung) yang memiliki indeks bias yang berbeda sebagai lensa objektifnya.
  2. Lensa adalah benda yang terbuat dari cairan yang sebenarnya terlambat membeku. Ketika teleskop ditegakkan, maka bagian lensa yang paling atas akan mengalir ke arah bawah secara perlahan - lahan. Hal ini menyebabkan mutu bayangan menjadi kurang bagus.
  3. Sulitnya membuat lensa dengan diameter yang besar. Karena semakin besar diameter lensa, maka akan semakin sulit untuk membuat lensa yang homogen, sehingga cahaya bintang tidak terdistorsi oleh turbulensi atmosfer.
  4. Saat ini, teleskop refraktor terbesar di dunia terdapat di Observatorium Yerkes dengan diameter sekitar 1 meter.
Teleskop refraktor terbesar di dunia, terletak di Observatorium Yerkes di bawah naungan Universitas Chicago. Saat ini, teleskop ini tidak digunakan lagi untuk keperluan pembelajaran dan penelitian. Credit: John 'K'.


b. Teleskop Reflektor (Pantul)
Teleskop pantul diciptakan oleh Isaac Newton pada tahun 1668. Objektif teleskop ini berupa cermin yang disanggah di bagian belakang teleskop, sehingga pada teleskop pantul tidak akan terjadi abrasi kromatis. Untuk mendapatkan mutu bayangan yang baik pada teleskop pantul, kita hanya perlu membuat cermin utamanya serata mungkin, sehingga pemantulan menjadi sempurna. Selain itu, karena objektifnya berupa cermin, maka tidak sulit untuk membuat objektif dengan diameter yang cukup besar. Proses pemantulan pada teleskop pantul adalah sebagai berikut :

Cahaya yang datang ke cermin utama, akan dipantulkan ke cermin cembung kecil yang berada di depannya (sebagai bidang fokus). Kemudian dari bidang fokus, cahaya akan dipantulkan/diteruskan ke fokus utama (di ujungnya terdapat detektor).

Berdasarkan letak fokus utamanya, teleskop pantul dibedakan menjadi teleskop Cassegrain dan teleskop Coude. Teleskop Cassegrain, fokus utama terletak di belakang teleskop, sedangkan teleskop Coude, fokus utamanya terletak di bagian luar teleskop (di bagian samping teleskop).

Kelemahan dari teleskop pantul ini adalah, bayangan yang dihasilkan tidak terlalu tajam karena berasal dari proses pemantulan, tidak seperti pada teleskop bias yang bayangannya berasal dari pembiasan. Namun hal ini tidak terlalu mempengaruhi. Kelemahan yang lainnya adalah terjadinya abrasi sferis, yaitu cahaya yang datang di samping teleskop, tidak sama dengan cahaya yang datang di tengah teleskop. Ini membuat mutu bayangan menjadi sedikit terganggu.
Karena kelemahan tersebut, kemudian para ilmuwan menciptakan sebuah teleskop pantul baru yang dinamakan Schmidt. Teleskop Schmidt terdiri dari 3 komponen utama, yaitu cermin utama, bidang fokus, dan lensa pengkoreksi (untuk mengkoreksi cahaya yang datang, sehingga cahaya dapat mencapai cermin utama seluruhnya).

Hingga tahun 1993, teleskop pantul terbesar di dunia adalah teleskop Hale yang terdapat di Mount Palomar, California, Amerika Serikat, dengan diameter sekitar 5 meter.
Teleskop Hale. Credit: Palomar/Caltech.


2. Detektor Cahaya Bintang
Dalam dunia astronomi, terdapat banyak macam detektor, antara lain pelat potret dan film fotografis, fotometer fotoelektrik, CCD, dan juga spektograf (untuk mengamati spektrum cahaya bintang).

Pada awal abad ke 20, para astronom sudah banyak menggunakan pelat potret dan film fotografis untuk merekam cahaya bintang. Pelat potret yang digunakan adalah pelat kaca yang dilapisi bahan kimia peka cahaya yang dipasang pada fokus utama teleskop. Pelat potret dan film fotografis dapat merekam cahaya bintang dalam medan yang sangat luas, namun detektor ini tidak mampu merekam cahaya bintang yang mengalami perubahan kecerlangan.

Kemudian, untuk menghindari hal itu, para astronom merekam cahaya bintang secara elektronik dengan menggunakan fotometer fotoelektrik. Pada alat ini, cahaya yang datang ke objektif akan difokuskan ke permukaan peka cahaya yang kemudian akan merubah intensitas cahaya tersebut menjadi arus listrik. Dengan cara ini, kita dapat mengamati perubahan cahaya bintang terhadap waktu. Namun, peralatan ini tidak dapat digunakan untuk merekam daerah langit dengan medan yang luas.

Perkembangan lebih lanjut dari fotometer fotoelektrik adalah sebuah alat yang dinamakan CCD (Charge Coupled Device). Alat ini dapat merekam cahaya bintang yang bahkan hanya berupa titik saja di langit. Kepekaan alat ini lebih tinggi dibandingkan dengan pelat fotografis.

Namun alat ini juga tidak dapat digunakan untuk merekam daerah dengan medan yang luas, dan juga biaya perawatannya yang mahal. Oleh karena itu, para astronom masih menggunakan pelat potret dan film fotografis karena alat ini dapat merekam daerah dengan medan yang luas dan biaya perawatannya yang murah.

Ini adalah komponen bidang fokus pada teleskop Kepler. Terdiri dari 42 buah CCD, tiap CCD berukuran 2,8 cm x 3 cm, dengan ukuran piksel 1024 x 1100 . Credit: NASA and Ball Aerospace.


3. Teleskop Ruang Angkasa Hubble
Pengamatan objek - objek langit dengan menggunakan teleskop dari permukaan Bumi, banyak mengalami kelemahan - kelemahan, diantaranya adalah adanya turbulensi atmosfer yang membuat cahaya bintang terdistorsi. Untuk itu, banyak pengamatan terhadap objek - objek langit dilakukan pada pegunungan yang tinggi untuk mengurangi turbulensi atmosfer. Namun hal itu tetap saja mengganggu proses pengamatan.

Karena hal - hal tersebut, kemudian timbul sebuah gagasan untuk meletakkan sebuah teleskop di orbit Bumi sehingga pengaruh turbulensi atmosfer dapat diabaikan. Gagasan ini kemudian direalisasikan dengan diciptakannya sebuah teleskop ruang angkasa Hubble (Hubble Space Telescope). Nama teleskop ini diambil dari nama Edwin Hubble yang merupakan seorang astronom Amerika Serikat yang menjadi salah satu pelopor kosmologi modern.

Teleskop Hubble dikelolah oleh Space Telescope Science Institute, yang bertugas menentukan prioritas penelitian, mengawasi penelitian, mengkoordinir penelitian, dan melakukan penyimpanan data - data hasil penelitian yang kemudian akan diolah oleh para ilmuwan.

Teleskop Hubble merupakan teleskop pantul jenis Cassegrain. Memiliki cermin utama yang berdiameter 2,4 meter. Cermin ini dilapisi oleh Aluminium setebal sepersejuta cm, kemudian dilapisi lagi oleh Magnesium Florida setebal empat persepuluh juta cm, ini merupakan salah satu benda yang paling rata yang pernah di buat oleh manusia.  Kehalusan dan kerataan cermin utama ini berguna untuk mengamati objek langit yang jauh sekalipun, bahkan teleskop ini dapat mengamati sebuah cahaya lilin yang diletakkan di permukaan Bulan dengan jelas. Pada jarak 4,8 meter di depan cermin utama, terdapat sebuah cermin cembung (bidang fokus).

Apabila lembah dan bukit pada teleskop ini diperbesar sebesar ukuran benua Amerika, maka tingginya pada teleskop tersebut hanya sekitar 0,6 cm saja. Untuk perbandingan, jika kita menggunakan kacamata, tinggi lembah dan bukit yang diamati setinggi 16 m.

Hubble dibekali oleh 5 peralatan optik, yaitu kamera medan luas (kamera planet), kamera objek lemah, spektograf resolusi tinggi, spektograf objek lemah, dan fotometer kecepatan tinggi.

Kamera medan luas (kamera planet), kamera ini dapat digunakan untuk mengamati objek - objek langit dengan daerah medan yang luas. Objek utama dalam pengamatan kamera medan luas ini adalah planet - planet, galaksi, gugus galaksi, dan juga nebula.

Kamera objek lemah, digunakan untuk mengamati objek - objek langit yang cahayanya cukup lemah dan untuk melengkapi kinerja kamera medan luas. Objek utamanya adalah gugus bola.

Spektograf resolusi tinggi, digunakan untuk mengamati materi - materi yang terdapat di dalam galaksi kita dan juga yang ada di luar galaksi. Objek utamanya adalah daerah pembentukan bintang.

Spektograf objek lemah, digunakan untuk mengamati spektrum cahaya objek - objek langit yang jaraknya sangat jauh. Objek utamanya adalah quasar (quasi stellar radio source), yaitu sumber pancaran radio yang mirip bintang.

Fotometer kecepatan tinggi, digunakan untuk mengamati objek - objek dengan variasi cahaya yang sangat cepat. Alat ini dapat membedakan peristiwa dalam orde 10 mikron. Objek utamanya adalah objek - objek yang mengalami perubahan intensitas cahaya yang sangat cepat, pengamatan ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya lubang hitam disekitar objek tersebut.

Setelah mengalami beberapa kali penundaan, akhirnya pada April 1990, pesawat ulang alik Discovery meluncurkan teleskop Hubble ke orbit Bumi, teleskop ini berada pada ketinggian sekitar 500 km di atas permukaan Bumi.

Setelah diluncurkan, teleskop ini mulai mengambil gambar - gambar pertamanya. Citra yang diperoleh ternyata kurang memuaskan, karena disekeliling citra utamanya terdapat lingkaran - lingkaran cahaya (halo). Hal ini disebabkan oleh cermin utamanya yang dibuat berbentuk hiperbola (hiperboloid) ternyata kelengkungannya kurang sempurna, sehingga cahaya yang difokuskan ke bidang fokus hanya 15% saja, padahal spesifikasi NASA menuntut 70%. Ini menyebabkan bayangan menjadi kabur. Namun hal ini dapat diatasi dengan menghilangkan halo - halo tersebut menggunakan komputer berteknologi tinggi. Dengan cara tersebut, berarti juga bahwa kepekaan teleskop Hubble menjadi berkurang. Walaupun begitu, dengan cara tersebut Hubble dapat mengambil citra - citra awan Saturnus, citra Pluto dan satelitnya-Charon, dan lubang hitam di pusat galaksi.

Kemudian, para ilmuwan menciptakan sebuah alat yang dinamakan COSTAR (Corrective Optics Space Telescope Axial Replacement) untuk memperbaiki citra teleskop Hubble yang buruk. Alat ini menggantikan kedudukan fotometer kecepatan tinggi dan juga melengkapi kinerja spektograf objek lemah dan kamera objek lemah.

Pemasangan COSTAR dilakukan oleh para astronot yang diluncurkan oleh pesawat ulang alik Endeavour pada Desember 1993. Setelah alat tersebut dipasang, citra objek - objek langit yang diambil oleh Hubble sangat spektakuler. Teleskop ini dirancang untuk dapat bertahan hingga 10 tahun lebih, sampai sekarang teleskop ini masih menyumbangkan hasil pengamatannya dan telah membuka rahasia - rahasia di alam semesta ini yang sebelumnya belum dapat terpecahkan.

Teleskop ruang angkasa Hubble berada pada ketinggian 547 di atas permukaan Bumi. Mengorbit sekitar 15 kali per hari. Credit: NASA.


4. Optika Adaptif (Adaptive Optics)
Turbulensi atmosfer menjadi pengaruh utama dalam mengamati bintang - bintang dari permukaan Bumi. Oleh karena hal itu, para ilmuwan banyak melakukan pengamatan di daerah pegunungan yang tinggi dan bahkan teleskop yang digunakan sampai dibawa ke orbit Bumi.
Atas dasar itu, kemudian para ilmuwan menggunakan suatu sistem optik yang disebut optika adaptif (adaptive optics) untuk mengamati bintang - bintang tanpa dipengaruhi oleh turbulensi atmosfer dari permukaan Bumi.

Sistem optika adaptif terdiri dari alat - alat tambahan, yaitu komputer berkecepatan tinggi, sensor muka gelombang, detektor, cermin setengah tembus, dan juga cermin karet berpermukaan lentur yang dalam astronomi disebut dengan rubber mirror. Cermin ini terdiri dari kumpulan cermin kecil - kecil yang dapat bergerak di atas sebuah per (aktuator) dalam orde beberapa mikron. Cara kerja dari sistem optika adaptif adalah dengan menggunakan prinsip feedback. Cara kerjanya adalah sebagai berikut :
  • Cahaya yang datang ke teleskop, akan diteruskan ke cermin karet dan kemudian akan diteruskan lagi ke cermin setengah tembus.
  • Setengah cahaya tersebut akan diteruskan ke detektor, dan setengahnya lagi akan diteruskan ke sensor muka gelombang untuk memecahkan cahaya tersebut menjadi beberapa berkas.
  • Bila turbulensi atmosfer yang terjadi cukup besar, maka pada berkas - berkas tersebut akan terjadi interferensi yang kemudian akan dikirimkan ke komputer berkecepatan tinggi.
  • Komputer berkecepatan tinggi kemudian akan mengkoreksi bentuk cermin karet terhadap turbulensi atmosfer. Hal tersebut dilakukan terus - menerus hingga interferensi menjadi sekecil - kecilnya.
Pada sistem ini, komputer yang digunakan adalah komputer berkecepatan tinggi, ini dikarenakan pengkoreksian cermin karet terhadap turbulensi atmosfer berlangsung tepat pada waktunya (real time). Hal itu dilakukan karena kondisi atmosfer yang selalu berubah - ubah.

Beberapa teleskop di dunia sudah menggunakan sistem ini, salah satunya adalah teleskop Mauna Kea di Kepulauan Hawaii. Sistem ini sendiri pertama kali dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk keperluan perang bintang dan satelit mata - mata.

Namun sekarang sistem optika adaptif sudah semakin berkembang. Sekarang saja, para ilmuwan telah mengembangkan cermin karet berdiameter 15 cm, yang memiliki aktuator sebanyak 341 buah dan dapat bergerak sejauh 3 mikron setiap 2 mikrodetik.

Ilustrasi bagaimana sistem optika adaptif bekerja. Detail terkait cara kerja sistem optika adaptif dapat dilihat di Center for Adaptive Optics | How Does an AO System Work (ucolick.org). Credit: CfAO.


5. Rancangan Teleskop Non-konvensional
Meskipun teleskop pantul memiliki kelebihan dalam segi pembuatan objektifnya yang lebih besar daripada teleskop bias, pembuatan cermin yang cukup besar ternyata juga sangat sulit dan rumit sehingga menjadi tidak praktis untuk dipakai.

Untuk memecahkan masalah tersebut, kemudian para ilmuwan membuat sebuah teleskop dengan cermin objektifnya yang berdiameter besar yang terdiri dari kumpulan cermin - cermin kecil. Ternyata, kepekaan teleskop dengan cermin yang terdiri dari kumpulan cermin kecil - kecil itu setara dengan sebuah teleskop yang memiliki diameter cermin cukup besar.

Contoh dari penggunaan metode tersebut adalah MMT (Multiple Mirror Telescope) yang terdapat di Mount Hopkins, Arizona, Amerika Serikat. Teleskop ini memiliki cermin objektif terdiri dari 6 buah cermin berdiameter masing - masing 1,8 m. Kepekaan teleskop ini setara dengan teleskop yang cermin objektifnya berdiameter 4,5 m. Contoh lainnya adalah teleskop Keck di Gunung Mauna Kea, Kepulauan Hawaii. Teleskop ini memiliki cermin objektif terdiri dari 36 cermin berbentuk segienam beraturan yang masing - masing memiliki lebar sisi 0,9 m. Kepekaan teleskop ini setara dengan teleskop yang diameter cermin objektifnya 10 m.

Sekarang ini, para ilmuwan telah merancang teleskop yang rancangannya sama dengan rancangan MMT. Cermin objektifnya terdiri dari 4 buah cermin yang masing - masing berdiameter 7,5 m, dan kepekaannya setara dengan teleskop yang cermin objektifnya berdiameter 15 m.

MMT di Mount Hopkins, Arizona. Credit: Steward Observatory Mirror Lab.


Komentar