The Never Endless π
Jika keliling sebuah lingkaran dibagi dengan diameter lingkaran itu, maka akan didapatkan sebuah angka konstan yang berlaku untuk semua lingkaran dengan beragam diameter. Angka ini yang kita kenal sebagai π. Di sekolah, kita mengenal π = 3,14 atau π = 22/7. Nilai ini adalah penyederhanaan untuk dua angka desimal saja. Nilai π yang sesungguhnya lebih dari sekedar 2 angka desimal dan belum diketahui berakhir hingga angka desimal keberapa. Oleh karena itu, π dapat dikatakan sebagai the never endless number. Menariknya juga, nilai π sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu oleh peradaban-peradaban besar di dunia, seperti Babilonia, Mesir, Yunani, Cina, Arab, dan India. Perjalanan menentukan nilai π hingga ke-sekian angka desimal pun cukup panjang. Mari kita bahas dalam artikel ini secara ringkas.

ERA BABILONIA KUNO DAN MESIR KUNO
Sebuah tablet berasal dari 1900-1680 SM, milik peradaban bangsa Babilonia Kuno, menunjukkan bahwa bangsa ini telah mengenal nilai π = 3,125. Sebuah manuskrip lain yang berasal dari bangsa Mesir Kuno sekitar 1650 SM, yaitu Rhind Papyrus, menjelaskan tentang matematika yang digunakan pada bangsa Mesir Kuno. Dari manuskrip ini, diketahui nilai π = 3,1605 atau π = 256/81. Sayangnya, kita tidak mengetahui dengan jelas bagaimana cara bangsa Babilonia Kuno dan Mesir Kuno dapat melakukan perhitungan nilai π.


ERA YUNANI KUNO
Seorang ilmuwan Yunani Kuno, Archimedes (hidup pada 287-212 SM), pertama kali melakukan perhitungan nilai π dengan memanfaatkan teorema Pythagoras. Menurutnya, sebuah persegi dapat dianggap memiliki bentuk yang agak mirip dengan lingkaran. Ia membuat persegi di dalam sebuah lingkaran yang tiap sudutnya menyinggung lingkaran itu, kita anggap sisi persegi ini adalah Si. Kemudian ia juga membuat persegi di luar lingkaran yang tiap sisinya menyinggung lingkaran itu, kita anggap sisi persegi ini adalah So. Maka:
- Untuk lingkaran, nilai π adalah perbandingan antara keliling lingkaran dan diameternya (D).
- Untuk persegi di dalam lingkaran, nilai π seharusnya lebih besar dari perbandingan antara 4 kali sisi persegi dan diagonal persegi itu (Si√2). Dapat ditulis sebagai π > 4Si/(Si√2) atau π > 4/√2.
- Untuk persegi di luar lingkaran, nilai π seharusnya lebih kecil dari perbandingan antara 4 kali sisi persegi itu dan diameter lingkaran. Dapat ditulis sebagai π < 4So/D.

Dengan demikian, Archimedes dapat menuliskan bahwa 4/√2 < π < 4So/D. Dengan konsep yang sama, Archimedes mencoba menggunakan pentagon untuk mendekati bentuk lingkaran dan menghitung rentang nilai π. Kemudian, ia menggunakan heksagon, heptagon, oktagon, nonagon, dekagon, dan seterusnya untuk mendekati bentuk lingkaran dan menghitung rentang nilai π. Percobaan terakhir Archimedes adalah dengan menggunakan poligon 96 sisi dan ia mendapati 3,1408 < π < 3,1429 atau 223/71 < π < 22/7. Dengan demikian, nilai π yang diperoleh Archimedes adalah sebesar 3,1418. Metode yang digunakan Archimedes cukup sederhana, namun butuh pengukuran berulang dengan menggunakan poligon yang semakin banyak jumlah sisinya untuk mendapatkan nilai π yang semakin akurat.
Empat ratus tahun setelah Archimedes, Ptolemeus juga berkontribusi dalam perhitungan nilai π. Ptolemeus menerapkan metode Archimedes dengan melakukan pendekatan bentuk lingkaran dengan menggunakan poligon 360 sisi. Ia mendapatkan nilai π = 3,14166.
ERA DINASTI CINA DAN PERADABAN ISLAM
Seorang ahli matematika asal Cina yang hidup 429-501 M, Zu Chongzhi, juga pernah melakukan perhitungan nilai π. Ia melakukan pendekatan bentuk lingkaran dengan menggunakan poligon 24.576 sisi dan mendapatkan nilai π = 355/113. Nilai π yang diperoleh Zu Chongzhi memiliki keakuratan hingga 9 angka desimal dan bertahan hampir selama 900 tahun sebagai nilai π yang paling akurat. Sayangnya, tak banyak yang tahu secara detail mengenai metode yang digunakan Zu Chongzhi karena minimnya catatan sejarah tentang hal itu. Namun, metode yang digunakan Zu Chongzhi tampaknya mirip dengan metode Archimedes.
Pada abad ke-15, ahli matematika Arab bernama Jamshid Al-Kashi (hidup antara 1380-1429 M) berhasil menghitung nilai π hingga 16 angka desimal dengan menggunakan metode dari Archimedes. Nilai yang dihitung Al-Kashi telah memecahkan rekor perhitungan nilai π dari Zu Chongzhi. Perhitungan nilai π dari Al-kashi tak tertandingi hingga 200 tahun.


ERA MODERN
Hingga tahun 1600, manusia sudah dapat menghitung nilai π hingga 35 digit dengan menggunakan metode Archimedes. Meski sudah sebanyak itu digit yang diketahui untuk nilai π, kita belum menemukan digit terakhir dari nilai π itu sendiri. Sepanjang abad ke-17, ahli matematika mengembangkan metode baru untuk menghitung nilai π, dengan memanfaatkan deret tak hingga.
Ahli matematika asal Inggris, John Wallis, pada 1656 memperkenalkan sebuah persamaan yang melibatkan perkalian deret tak hingga. Dari persamaan ini, ia dapat menghitung nilai π. Kemudian ada Isaac Newton dengan teorema binomial-nya. Ia dapat menghitung nilai π hingga 16 angka desimal. Ada juga deret Gregory-Leibniz yang menerapkan deret tak hingga dan fungsi trigonometri untuk menghitung nilai π. Sampai pada akhir abad ke-18, sudah lebih dari 100 digit nilai π yang ditemukan dengan menggunakan deret Gregory-Leibniz.
Ada hal yang menarik lainnya, Johann Lambert membuktikan ternyata π adalah bilangan irasional dan Ferdinand Von Lindemann menunjukkan bahwa π adalah bilangan transendental. Bilangan irasional adalah bilangan yang tidak dapat dinyatakan sebagai rasio dari dua bilangan bulat. Sedangkan bilangan transendental adalah bilangan irasional yang bukan merupakan akar dari persamaan polinomial rasional (persamaan polinomial dengan koefisien bilangan rasional). Artinya, nilai π tidak dapat dinyatakan dalam bentuk pecahan, juga tidak dapat dinyatakan dalam sebuah persamaan polinomial rasional.
Pada awal abad ke-20, seorang ahli matematika India, Srinivasa Ramanujan mengembangkan sebuah persamaan yang jauh lebih efektif untuk menghitung nilai π. Persamaan ini yang nantinya banyak diterapkan dalam algoritma komputer untuk menghitung nilai π secara lebih cepat dan akurat.
ERA KOMPUTER
Munculnya komputer sangat membantu manusia dalam berbagai macam perhitungan, termasuk juga dalam perhitungan nilai π. Pada 1949, komputer ENIAC mampu menghitung 2037 digit nilai π. Ini adalah pencapaian yang luar biasa. Selanjutnya, sebanyak 16.167 digit nilai π berhasil dihitung oleh komputer IBM 704 pada tahun 1959. Ada juga komputer IBM 7090 yang berhasil menghitung sebanyak 100.000 digit nilai π. Satu juta angka desimal untuk nilai π akhirnya berhasil dihitung oleh komputer CDC 7600 pada 1973.
Kemajuan dalam teknologi komputer membuat perhitungan nilai π menjadi semakin akurat. Pada 2019, Google Cloud berhasil memecahkan rekor dunia dengan menghitung nilai π sebanyak 31,4 triliun digit. Rekor dunia itu dipecahkan lagi pada 2021, sekelompok ilmuwan dari University of Applied Sciences di Arizona berhasil menghitung sebanyak 62,8 triliun digit nilai π. Tak lama setelah itu, pada 2022, lagi-lagi Google Cloud berhasil memecahkan rekor dunia terbaru dengan menghitung nilai π sebanyak 100 triliun digit.
Perhitungan nilai π telah melewati berbagai peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu hingga era komputer berteknologi canggih saat ini. Dari menggunakan metode sederhana seperti poligon, kemudian deret tak hingga, dan akhirnya memanfaatkan kemampuan komputer dalam perhitungan yang lebih akurat dan cepat. Bukankah ini adalah sejarah yang menarik? Meski komputer pada masa sekarang semakin powerful dalam melakukan perhitungan, nilai π tetap tak dapat ditemukan hingga angka terakhir. Oleh sebab itu, π dikatakan sebagai the never endless number. Meskipun begitu, usaha menghitung nilai π dengan digit semakin banyak sangatlah berguna untuk menguji keakuratan program komputer dan sistem penyimpanan data yang semakin canggih. Karena itu, perhitungan nilai π masih terus dilakukan hingga saat ini.


Komentar
Posting Komentar