Empat Tahun yang Sibuk, Diplomasi Indonesia di Awal Kemerdekaannya
Pasca kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia tidak langsung mendapatkan pengakuan secara de facto dari Belanda. Pada saat itu, Belanda sebagai salah satu anggota Sekutu yang memenangi Perang Dunia II berhak untuk menduduki kembali wilayah-wilayah jajahan negara yang kalah dalam Perang Dunia II. Salah satu wilayah jajahan itu adalah Indonesia, yang telah ditinggalkan oleh Jepang karena kalah perang. Belanda masih sangat ingin untuk menguasai wilayah Indonesia seperti saat VOC menguasai Indonesia sebelum Jepang datang.
Pada saat itu, Sekutu memasuki Indonesia dengan diboncengi oleh NICA (mewakili pemerintah Belanda). Menurut Sekutu, Indonesia sedang mengalami kekosongan kekuasaan, sehingga Sekutu berhak untuk menguasai Indonesia kembali. Tentu saja ada penolakan dari Indonesia, karena Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945 setelah Jepang menyatakan kalah dalam Perang Dunia II. Hal ini yang menjadi konflik baru antara Indonesia dan Sekutu, terutama Belanda.
Indonesia menyadari bahwa kehadiran Belanda di Indonesia mulai mengancam kestabilan pemerintahan Indonesia. Pada saat itu, Jakarta sebagai ibu kota negara, mulai tidak aman dengan kehadiran Belanda. Melihat hal itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII mengirimkan surat ke pemerintah Indonesia dengan tujuan memberikan masukan agar pemerintah Indonesia memindahkan ibu kota ke Yogyakarta, jika bersedia. Masukan itu disambut baik oleh Soekarno. Akhirnya pada 4 Januari 1946, pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.
MEMULAI PERUNDINGAN
Belanda kemudian mulai mengajak Indonesia untuk melakukan perundingan dengan tujuan membahas kedaulatan Indonesia. Perundingan pertama ini digagas oleh seorang panglima perang AFNEI, Philip Christison, dan dilaksanakan dari 10 Februari hingga 12 Maret 1946 di Yogyakarta. Hubertus Julius van Mook hadir sebagai perwakilan Belanda dan Sutan Syahrir sebagai perwakilan Indonesia. Sayangnya, perundingan ini tidak menghasilkan keputusan apapun karena kedua pihak tidak mencapai titik temu selama perundingan. Perundingan ini dikenal dengan nama Perundingan Philip Christison.
Pada tanggal 14-25 April 1946, Indonesia dan Belanda kembali melakukan perundingan. Kali ini perundingan dilakukan di kota Hooge-Veluwe, Belanda. Pada saat itu, rombongan Indonesia dipimpin oleh Mr. Suwandi melanjutkan perundingan dengan Hubertus Julius van Mook sebagai perwakilan Belanda. Dalam perundingan ini, Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia atas pulau Jawa dan Madura saja. Tentu saja Indonesia menolak dan mendesak untuk melakukan perundingan berikutnya pada waktu yang berlainan. Perundingan di Hooge-Veluwe ini dikenal sebagai Perundingan Hooge-Veluwe.


PERJANJIAN LINGGARJATI
Setelah dua perjanjian sebelumnya tidak menghasilkan kesepakatan yang memuaskan, Belanda dan Indonesia kemudian melakukan perundingan kembali dari 10-15 November 1946 di Linggarjati, Jawa Barat. Dalam perundingan ini, delegasi Belanda dipimpin oleh perdana menterinya, yaitu Willem Schermerhorn. Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh perdana menterinya, yaitu Sutan Syahrir.
Perundingan ini menghasilkan perjanjian sebagai berikut:
- Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia atas Sumatera, Jawa, dan Madura.
- Republik Indonesia menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat bersama dengan Negara Borneo dan Negara Indonesia Timur.
- Uni Indonesia-Belanda akan didirikan pada 1 Januari 1949.
Perjanjian di atas disebut sebagai Perjanjian Linggarjati. Sayangnya, perjanjian ini hanya bertahan selama beberapa bulan saja. Hal ini dikarenakan Belanda secara tiba-tiba mulai melakukan agreasi militer ke wilayah kedaulatan Republik Indonesia sejak 21 Juli 1947. Peristiwa ini disebut sebagai Agreasi Militer Belanda I.

PERJANJIAN RENVILLE
Peristiwa Agreasi Militer Belanda I sampai memicu PBB untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini. PBB mendesak Belanda dan Indonesia untuk melakukan gencatan senjata dan perundingan lebih lanjut dalam rangka menyelesaikan permasalahan ini. PBB kemudian membentuk Komite Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Australia yang mewakili Indonesia, Belgia yang mewakili Belanda, dan Amerika Serikat sebagai pihak penengah.
KTN inilah yang menginisiasi perundingan selanjutnya antara Belanda dan Indonesia. Perundingan dilakukan di kapal perang miliki Amerika Serikat, yaitu Renville, di Teluk Jakarta dari 8 Desember 1946 hingga 17 Januari 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin dan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Sedangkan PBB melalui KTN diwakili oleh Frank Graham dari Amerika Serikat, Paul van Zeeland dari Belgia, dan Richard Kirby dari Australia.
Perundingan ini menghasilkan beberapa keputusan, yaitu:
- Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia atas Sumatera, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.
- Garis demarkasi (perbatasan) disetujui sebagai pemisah antara wilayah Republik Indonesia dan wilayah pendudukan Belanda.
- TNI harus ditarik mundur dari wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Hasil perjanjian ini semakin memperkecil wilayah kedaulatan Republik Indonesia dan menguntungkan pihak Belanda. Namun, Belanda tampaknya masih belum puas. Belanda kemudian melanggar perjanjian Renville dan mulai meluncurkan Agresi Militer II di wilayah kedaulatan Indonesia sejak 19 Desember 1948. Belanda bahkan memasuki Yogyakarta, kemudian menyandera Soekarno dan Mohammad Hatta.
Agresi Militer Belanda II membuat pemerintah Republik Indonesia terpaksa membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, Sumatera Barat. Akibat peristiwa ini, PBB lagi-lagi mendesak Belanda dan Indonesia untuk menyelesaikan konflik tanpa kontak senjata.

PERJANJIAN ROEM-ROYEN
Sejak 14 April 1949, Belanda dan Indonesia kembali melakukan perundingan di Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Herman van Royen. Perundingan berlangsung dengan sangat alot, bahkan sampai harus menghadirkan Mohammad Hatta yang sedang diasingkan oleh Belanda di Bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang kala itu sebagai sultan Yogyakarta. Kehadiran Sri Sultan Hamengkubuwono IX ini untuk mempertegas bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia.
Perundingan itu akhirnya mencapai beberapa kesepakatan dan ditandatangani pada 7 Mei 1949. Dalam perjanjian ini, Belanda sepakat untuk:
- Mengembalikan lagi pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
- Menghentikan semua gerakan militer Belanda di Republik Indonesia dan membebaskan semua tahanan politik.
- Menyetujui bahwa Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
- Mengupayakan agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah pemerintahan Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta.
Sementara itu, pihak Indonesia dalam perjanjian ini sepakat untuk:
- Memerintahkan angkatan perang dan angkatan bersenjatanya agar menghentikan segala bentuk aktivitas perang gerilya.
- Menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda dalam rangka mengembalikan keamanan, ketertiban, dan menjaga perdamaian masing-masing negara.
- Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag untuk mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat tanpa bersyarat.
Setelah perjanjian ini ditandatangani, pasukan Belanda yang sebelumnya menduduki Yogyakarta ditarik mundur pada 1 Juli 1949. Pada 6 Juli 1949, Soekarno dan Mohammad Hatta akhirnya dikembalikan ke Yogyakarta setelah diasingkan ke luar pulau Jawa. Pada waktu itu juga ibu kota pemerintahan Republik Indonesia pun akhirnya dikembalikan dari Bukittinggi ke Yogyakarta.

KONFERENSI MEJA BUNDAR
Setelah melewati serangkaian perundingan sejak 1946, Belanda dan Indonesia akhirnya sampai pada perundingan final, yaitu Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda, pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Hatta dan delegasi Belanda dipimpin oleh Johannes Henricus van Maarseveen. KMB juga dihadiri oleh BFO (Majelis Permusyawaratan Federal) yang merupakan perwakilan dari negara-negara boneka yang dibentuk Belanda (15 daerah otonom di Republik Indonesia Serikat). Pada saat itu BFO diwakili oleh Sultan Hamid II.

Hasil dari KMB ini adalah sebagai berikut:
- Belanda menyerahkan sepenuhnya kedaulatan atas Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan kedaulatan itu tidak dapat dicabut kembali. Penyerahan kedaulatan tersebut dilakukan selambat-lambatnya sampai 30 Desember 1949.
- Masalah Irian Barat akan dibicarakan setelah satu tahun penyerahan kedaulatan. Selain itu, Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda terikat dalam hubungan Uni Indonesia- Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda.
- Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik kembali dari Indonesia dengan catatan bahwa beberapa kapal perang kecil akan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.
- Untuk menindaklanjuti KMB diadakanlah pemilihan presiden Republik Indonesia Serikat pada tanggal 16 Desember 1949. Dalam pemilihan tersebut Soekarno terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat dan dilantik pada 17 Desember 1949.
Penyerahan kedaulatan dilakukan pada 27 Desember 1949. Pada saat itu secara resmi telah terbentuk Republik Indonesia Serikat. Penandatanganan naskah penyerahan kedaulatan dilakukan di Amsterdam oleh Ratu Juliana dan Moh Hatta, serta dilakukan juga di Jakarta oleh Antonius Hermanus Johannes Lovink dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.


Komentar
Posting Komentar